Jumat, 12 April 2013

Kyoiku Mama to Ryosai Kentro

         
Istilah Kyoiku Mama ( Ibu Pendidik ) yaitu dimana seorang Ibu tidak akan pernah berhenti mendorong anak-anaknya untuk belajar sekaligus menciptakan keseimbangan pendidikan baik dalam hal fisik, emosional, maupun sosial. 
Istilah Ryosai Kentro ( istri yang baik dan ibu yang arif ) menggambarkan suatu kebijakan yang memposisikan kaum hawa sebagai "penguasa rumah", yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di rumah. Dari mulai pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, masalah keuangan, dan pendidikan anak. Intinya menyerukan bahwa peran terhormat wanita adalah sebagai istri yang baik dan bijaksana, pembagian peran alami sesuai fitrah antara perempuan dan laki-laki. Peran perempuan sebagai menteri dalam negeri dan motivator domestik rumah tangganya, sedangkan peran laki-laki sebagai presiden rumah tangga dan sebagai motivator logistik dan publik.
      Kaum Ibu di Jepang justru merasa bahagia, tersanjung dan dimuliakan dengan jabatan dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Bahkan mereka tak segan-segan mengundurkan diri dari karir mereka demi mengasuh dan mendidik sendiri anak-anak mereka di rumah. Rilis Kementerian Kesehatan-Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang tanggal 17 Maret 2004 mengungkapkan bahwa 61 % Ibu muda Jepang meninggalkan pekerjaannya diluar rumah setelah melahirkan anak pertama mereka. Hal ini mungkin juga karena pandangan tentang peran ganda perempuan yaitu sebagai ibu sekaligus wanita karir dianggap sebagai chutto hanpa alias peran tanggung, tidak populer di Jepang. Menjadi Ibu Rumah Tangga sama profesionalnya dengan wanita karir di Jepang. Jadi wajar pemerintahan Jepang sangat memberi tempat terhormat pada peranan Ibu Rumah Tangga yang berkualitas, karena kemajuan bangsanya kelak pun tetap di topang oleh kualitas ibu-ibu rumah tangganya sebagai pembentuk kualitas karakter anak-anak bangsa.
Motivasi utama para wanita Jepang yang memilih karirnya sebagai ibu rumah tangga profesional maupun sebagai ibu pendidikan adalah untuk meletakkan dasar pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya, terutama di masa-masa usia emas, yaitu pada usia tiga tahun pertama masa perkembangan pesat otak seorang anak.


      Seorang pengamat Jepang, Reingold, mendefinisikan Kyoiku Mama sebagai berikut "She becomes directly involved in and identified with the child's succes or failur". Dapat diterjemahkan secara bebas "Para ibu pendidikan itu secara langsung terlibat dalam kesuksesan atau kegagalan mereka". Ibu-ibu pendidikan Jepang, Kyoiku Mama, mengajarkan disiplin, pengorbanan, kerja sama dan kesederhanaan di rumah sehingga di sekolah, yang mengajarkan hal-hal akademis, tidak direpotkan lagi dengan masalah-masalah perilaku anak didik karena nilai-nilai luhur telah melebur dalam karakter setiap siswa sejak dari rumah.
        Para ibu di Jepang ini memiliki gelar kesarjanaan yang mentereng, walaupun hanya bertugas mengurusi rumah.Mereka beranggapan bahwa pendidikan yang mereka tempuh selama ini tidaklah sia-sia yakni untuk memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka ketimbang mengejar karir dan cita-cita.. Jika mereka ditanya, "Mengapa berhenti bekerja.Apakah tidak sayang pendidikannya yang tinggi?". Mereka lebih suka banyak tinggal di rumah untuk membeuat makan siang, mencuci, dan menyeterika baju seragam sekolah dan terus menerus memotivasi anak-anaknya untuk bekerja keras meningkatkan prestasi akademis mereka. Dan mereka akan lebih senang di sebut sebagai ibu yang sukses mengantarkan anak-anaknya, mencetak mereka menjadi anak yang berhasil, dan bukan karir mereka. Terbukti sistem ini sungguh berhasil dalam meningkatkan laju kemakmuran Jepang. Rata-rata mereka lulusan S1/S2 bahkan S3. Mereka sekolah tinggi bukan untuk berkarir tapi "Mendidik Anak" itulah karir mereka yang tertinggi. Tak heran jika anak-anak di Jepang, pria dan wanita, sangat sayang dan mengagumi ibu-ibunya.
          Sekarang bagaimana dengan bagsa kita Indonesia, kebanyakan para kaum hawa merasa sayang jika pendidikan tingginya berakhir di pekerjaan rumah tangga. Akibatnya anak Indonesia dari golongan ibu berpendidikan malah berada dalam didikan para pembantu rumah tangga atau orang lain yang bukan orang tuanya. Karena kedua orang tuanya sibuk di luar, memang secara finansial mereka terjamin,namun mereka tak mendapatkan pendidikan karakter dari orang tuanya. Anak-anak mereka bisa menyelesaikan pendidikan sampai tinggi karena dukungan finansial yang kuat. Tetapi ada satu hal yang berbeda yakni pola pikir dan jiwa mereka bukan duplikasi orang tuanya, tapi dari pembantu atau orang lain.
         Padahal R.A. Kartini dalam salah satu suratnya juga berpendapat bahwa anak-anak perempun perlu mendapat pendidikan adalah agar perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri ke dalam tangannya menjadi ibu pendidik manusia yang pertama-tama ( 4 Oktober 1802 kepada Tn Anton dan Nyonya.Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane PN Balai Pustaka 1985).
        Dalam pandangan Islam pun sudah jelas digambarkan dal Al Qur'an dan Al Hadist bahwa ada kesamaan memang dalam hal ibadah dan kebaikan tetapi dalam kodrat dan sifat jelas berbeda. Isu-isu kesamaan gender yang dilontarkan negara-negara barat dan kaum feminisme jelas itu mengarah kepada liberalisme atau kebebasan tanpa aturan. Jadi, kesimpulannya , kalau mau negara dan bangsa ini maju, kembalikan kodrat alami yang sudah diatur dalam agama.
Pendidikan paling utama adalah dari keluarga, kalau benteng karakter anak sudah kuat, pastinya akan mampu menahan virus-virus berbahaya dari luar yang keras.
Perkembangan dan Kesuksesan Anak-Anak berada ditangan Ibu-Ibu yang berkualitas.

Waallahua'lam bi shawab..smg manfaat.

1 komentar: